Senin, 18 April 2011

Konsep Psikologi Islam VS Konsep Psikologi Modern

1.Pendahuluan ( Pengertian/Batasan dan Ciri-Ciri Topic)

Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian.

Pertama lebih bersifat filosofis, dimana psikologi didefinisikan sebagai studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Pengertian kedua yang mencoba memisahkan disiplin filsafat dengan psikologi memberikan definisi psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Sedangkan pengertian ketiga yang mencerminkan psikologi sebagai ilmu yang mandiri mengartikan psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.

Psikologi Islam sebagai sebuah kajian ilmu yang baru dikembangkan di awal tahun 60-an belum banyak orang mengenal, jika dibandingkan dengan psikologi barat yang usianya telah berabad-abad. Sebagai disiplin ilmu baru, Psikologi Islam lahir sebagai antitesis terhadap berbagai madzab psikologi modern. Dalam wataknya yang terbuka saat ini, disiplin ilmu psikologi modern harus meredefinisi dirinya, sehingga Psikologi Islam bisa menjadi salah satu alternatif yang dapat ditawarkan.

Meskipun Psikologi barat berfokus pada ego sebagai subjek dan objek yang menjadi landasan sentral paham hedonisme dan individualisme barat, sedangkan psikologi Islam mendasarkan pada spiritualisme, namun keduanya memiliki titik singgung yang sama yaitu manusia sebagai objek kajiannya.

2.Konsep Psikologi Barat

Para filsuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles lebih banyak mencurahkan pandangan tentang manusia kepada soal-soal kejiwaan manusia daripada tentang jasmaninya. Sebab menurut mereka manusia pada hakikatnya adalah hewan yang dapat berbicara, berfikir dan mengerti. Yang membedakan manusia dengan hewan adalah segi kejiwaan yang berupa akal dan pikiran. Berbeda dengan kajian tentang kajian rohani (kejiwaan), di dunia barat, kajian tentang jiwa kurang mendapatkan perhatian dari para sarjana sehingga perkembananya juga kurang begitu pesat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karna manusia secara kejiwaan mempunyai pembawaan yang berbeda, pengaruh lingkungan yang berbeda, perkembangan, dan pertunbuhan yang tidak sama. Telah banyak aliran psikologi barat yang telah melahirkan teori-teori tentang manusia, tapi ada empat yang paling dominan:

1. Psikoanalisis sebuah aliran dalam psikologi yang melukiskan manusia sebagai mahluk yang digerakan oleh keinginan-keinginan terpendam (homo valens).
2. Behaviorisme aliran dalam psikologi yang memandang manusia manusia sebagai mahluk yang digerakan oleh lingkungan (homo mechanicus)
3. Psikologi kognitif aliran psikologi yang melihat manusia sebagai mahluk yang melihat manusia sebagai mahluk yang mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (homo sapiens)
4. Psikologi humanistik, menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transak-sional dalam lingkungannya (homo ludens)

Dalam pandangan Sigmund Freud, kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu id, ego, dan super ego. Id adalah bagian paling primitif dan orisinil dalam kerpibadian manusia. Ia merupakan gudang penyimpang kebutuhan kebutuhan manusia mendasar, seperti makan, minum istirahat, atau rangsangan agresifitas dan seksualitas. Id mencari pemuas dalam realitas eksternal dan bekerja menurut prunsip kenikmatan (pleasure principle). Sementara itu, kebenaran ego adalah untuk membantu id mengadakan kontak dengan realitas.

Subsistem yang kedua adalah ego (das ich) yang berfungsi menjembatani tuntunan id dengan realitas dunia luar. Ego adalah editor antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang mendudukan hasrat hewani manusia dan hidup sebagai wujud yang rasional. Ego bergerak bergerak berdasarkan prinsip realita. Ego (das ich) memiliki prinsip kesadaran, mampu menghayati secara batiniah maupun lahiriah. Das ich menampilkan akal budi pekerti dan pikiran, selalu siap menyesuaikan diri, dan mampu mengendalikan dorongan-dorongan.

Unsur yang terakhir adalah super ego yang berfungsi untuk mengontrol dan menyensor id agar tidak begitu saja merealisasikan pemuasanya. Super ego dapat diibaratkan kata hati yang terbentuk melalui proses internalisasi yang meliputi larangan dan perintah dari dunia luar yang berhubungan dengan nilai sosial dan nilai moral. Super ego memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang berlainan ke alam bawah sadar. Baik id maupun super ego berada di alam bawah sadar manusia. Ego berada ditengah antara memenuhi desakan id dan peraturan super ego. Untuk mengatasi ketegangan, super ego dapat menyerah pada tuntutan id, tetapi bukan berarti dihukum super ego dengan perasaan bersalah. Super ego merupakan zat lebih tinggi yang ada pada diri manusia yang memberikan garis-garis pengarahan etis dan norma-norma yang harus dianut. Salah satu fungsi terpenting dari ueber-ich ialah sebagai hati nurani yang mengkritik dan mengontrlol perbuatan.

3.Konsep psikologi Islam

Dalam lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa. Ketika menelaah dimensi religius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam menjadi semacam kebutuhan.

Sebagai ilmu islam dijadikan pula sebagai suatu pandangan hidup. Sifat utama dari ideology islam adalah bahwa ia tidak menerima suatu pertentangan dan pemisahan antara hidup kerohanian dengan hidup keduniawian. Ruang lingkup meliputi seluruh bidang kehidupan manusia termasuk dalam bertingkah laku dan dalam proses mental manusia.

Menurut Acmad Mubarak desain kejiwaan manusia diciptakan tuhan dengan sangat sempurna berisi kapasitas-kapasitas kejiwaan, seperti berfikir, merasa dan berkehendak. Jiwa merupakan sistem (disebut sistem nafsani) yang terdiri dari subsistem ‘aql, qalb, bashirat, syahwat, dan hawa. Aql merupakan problem solving capacity, yang bisa berfikir dan membedakan yang buruk dan baik. Akal bisa mememukan kebenaran tetapi tidak bisa menentukanya, oleh karma itu kebenaran aql sifatnya relative. Qalb (hati) merupakan perdana mentri dari dari sistem nafsani. Dialah yang memimpin kerja manusia. Ia bisa memahami realita, ketika akal mengalami kesulitan, sesuatu yang tidak rasional masih bisa dipahami oleh qalbu berimplikasi kepada pahala dan dosa. Apa yang sudah dilupakan oleh qalb masuk kedalam memori nafs (alam bawah sadar) dan apa yang sudah dilupakan terkadang muncul dalam mimpi sesuai dengan namanya, qalb sering tidak konsisen. Bashirat, adalah pandangan mata batin sebagai pandangan dari mata kepala. Berbeda dengan qalb yang tidak konsisten kepada kebenaran dan kejujuran. Ia tidak bisa diajak kompromi untuk menyimpang dari kebenaran. Bashirat disebut juga nurani, dari kata nur dalam bahasa indonesia menjadi hati nurani. Menurut konsep tasawuf, bashirat adalah cahaya ketuhanan yang ada dalam hati, nurun yaqdzifuhulloh fil al-qalb, intropeksi, tangis kesadaran, religiositas, good spot, bersumber dari sini. Syahwat adalah motif kepada tingkah laku, semua manusia memiliki shahwat terhadap lawan jenis, bangga terhadap anak-anak menyukai barang berharga, kendaraan bagus, ternak dan kebun. Manusia juga memiliki hawa, hawa adalah sesuatu yang kebanyakan bersumber cenderung tidak baik, misalkan: perilaku kejahatan, marah, frustasi sombong,korupsi dll. Karakteristik hawa adalah ingin segera menikmati apa yang diinginkan tampa peduli kepada nilai-nilai moralitas.

Al-Ghazaly sangat mementingkan ilmu jiwa dan memandangnya sebagai jalan untuk mengenal Allah. Teori-teori al-Ghazaly tentang jiwa senada dengan teori Ibnu Sina dan al-Farabi. Ia membagi ilmu jiwa menjadi dua bagian. Pertama, ilmu jiwa yang mengkaji tentang daya hewan, daya jiwa manusia, daya penggerak, dan daya jiwa sensorik. Kedua, ilmu jiwa yang mengkaji tentang pengolahan jiwa, terapi dan perbaikan akhlak.

Berdasarkan kekuatan emosi dan syahwat yang menguasai manusia Al-Ghazaly membagi sifat manusia menjadi empat. Keempat sifat ini merupakan potensi yang dimiliki manusia secara alami (instink) dan dapat dikembangkan dan dikendalikan melalui proses belajar.

1. Sifat hewan buas (as-sab’iyyah) akan muncul dari diri manusia yang dikuasai emosi, dan perwujudannya berupa perilaku permusuhan, kebencian, penyerangan terhadap manusia lain baik melalui perkataan maupun perbuatan.
2. Sifat hewan liar (al-bahîmiyah) akan menjelma jika manusia dikuasai syahwat dengan
perwujudannya adalah tingkah laku kejahatan, ketamakan dan seksual.
3. Sifat setan (asy-syaithâniyah) muncul dari perpaduan kekuasaan syahwat dan emosi serta kemampuan membedakan. Wujudnya berupa prilaku kejahatan dan memperlihatkan kejahatan dalam bentuk kebaikan.
4. Sifat ketuhanan (ar-rabbâniyah), yang bila menguasai manusia akan melahirkan pribadi yang bertindak seperti Tuhan, seperti: sangat cinta kekuasaan, kebesaran, kekhususan, kediktatoran, lepas dari peribadatan, sombong, mengakui dirinya berilmu sangat luas.

Seiring perkembangan ilmu psikologi hadirlah Psikologi Islam yang menawarkan pembahasan tentang konsep manusia yang lebih utuh (komprehensif). Manusia tidak hanya dikendalikan oleh masa lalu tetapi juga mampu merancang masa depan. Manusia tidak hanya dikendalikan lingkungan tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia memiliki potensi baik tetapi juga potensi buruk (terbatas). Konsep manusia dalam psikologi Islam adalah bio-sosio-psikis-spiritual, artinya Islam mengakui keterbatasan aspek biologis (fisiologis), mengakui peran serta lingkungan (sosiokultural), mengakui keunggulan potensi dan juga memerankan aspek spiritual (Tuhan) dalam kehidupan manusia.

Manusia mempunyai 2 (dua) unsur yaitu jasmaniah (materi) dan rohaniah (non materi) yang secara umum dapat dijelaskan melalui konsep bio-sosio-psikis-spiritual yang dalam perkembangan psikologi barat tidak diakui keberadaannya. Perilaku manusia terbentuk oleh hasil kolaborasi semua unsur, tidak ada reduksi antar unsur sehingga pemahaman tentang manusia dapat menemukan titik temu yang utuh.

Islam menawarkan konsep manusia melalui pemahaman agama (wahyu Tuhan). Memahami manusia tidak dapat dilepaskan dari konsep ruh (daya ikat pencipta dan makhluknya), hati (qalbu) sebagai pengendali perilaku manusia, nafs yang menjadi wadah potensi manusia (baik-buruk) serta akal sebagai tempat nalar dan daya pemahaman tentang pilihan perilaku. Memahami manusia tidak hanya terbatas pada observable area tetapi juga yang unobservable area dan unconceivable area (tidak dapat dipikirkan atau dirasakan).

Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004), kajian psikologi Islami diantaranya meliputi jiwa (nafs) dengan memperhatikan badan atau tubuh, dengan kata lain antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan unitas. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi Islami melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi Islami bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan apa kata tuhan tentang manusia. Psikologi Islami menyadari adanya kompleksitas dalam diri manusia di mana hanya sang penciptalah yang mampu memahami dan mengurai kompleksitas itu.

Oleh karenanya, psikologi Islami sangat memperhatikan apa yang tuhan katakan tentang manusia. Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata mendasarkan diri kita pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita fahami dari dalil-dalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan tuhan. Kajian tentang diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-Quran:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?" (Qs. Fushshilat, 41:53).
Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa di alam semesta maupun dalam diri manusia terdapat sesuatu yang menunjukan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia. Apabila rahasia-rahasia tersebut disingkap manusia, maka jadilah manusia sebagai mahluk yang berpengetahuan, mahluk yang berilmu.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia ada kompleksitas yang bisa dijadikan lahan kajian. Dalam berbagai ayat banyak disebutkan istilah-istilah yang berbicara tentang keadaan diri manusia, seperti nafs, ruh, aql, qalb, fitrah, fujura, taqwa, fuad dan sebagainya. Istilah nafs, termasuk kata yang paling sering disebut-sebut oleh Al-Quran, yaitu sebanyak lebih dari 300 kali.

Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004) ada beberapa hal yang harus menjadi catatan, yang pertama bahwa kajian mengenai manusia bukanlah kajian yang berdiri sendiri, tetapi digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-Hashimi, 1991), yang kedua adalah untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Quran (ayat kauniyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan dan merefleksikan kejadian-kejadian di alam semesta (ayat kauliyah) dengan akal pikiran, indra dan intuisi. Catatan terakhir kita harus membedakan kebenaran Al-Quran dan kebenaran penafsiran Al-Quran. Secara mutlak Al-Quran adalah benar, tetapi penafsiran atasnya mungkin saja bias. Oleh karena itu rumusan tentang apa dan siapa manusia yang didasarkan pada Al-Quran juga mungkin mengandung bias, kerena bias dalam penafsirannya. Kalau perbedaan penafsiran itu terjadi, maka tugas kita adalah mengembalikannya pada Al-Quran, Al-Quran tidak pernah salah dalam memandang siapa manusia, yang salah adalah penafsiran atasnya.

Apabila dilihat dari konteks pemahamannya, maka dapat dikatakan konsep unsur-unsur dalam diri manusia sangatlah abstrak seperi halnya konsep id-ego-super ego milik Freud dan archetyp-archetyp milik Carl Gustav Jung, sehingga tidak perlu diperdebatkan dalam kajian psikologi. Keberanian menawarkan konsep lain yang sejalan dengan pembahasan perilaku manusia merupakan entry point dalam membangun pondasi keilmuan yang baru.

Konsep unsur manusia dalam Islam diambil dari wahyu Tuhan tidak dapat diragukan kebenarannya. Tuhan adalah pencipta manusia yang tentunya sangat mengetahui hasil ciptaannya, sehingga acuan yang paling tepat untuk memahami manusia adalah dari kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan meskipun dalam aplikasinya terdapat pola penafsiran yang berbeda.

Psikologi Islam menawarkan konsep tentang perluasan bidang kajian dan metode yang dipergunakan untuk mencari kebenaran meskipun tetap berlandaskan pada wahyu Tuhan (agama). Metode pencarian kebenaran tidak hanya mempergunakan indra yang memiliki banyak keterbatasan, tetapi juga mempergunakan potensi non-indrawi yang berwujud intuisi yang nilai kebenarannya sama-sama relatif dan wahyu yang kebenarannya tak terbantahkan.

Metode ilmiah dalam membangun teori psikologi tetap dipergunakan untuk memberikan peluang potensi inderawi, misalnya dengan penelitian eksperimen, uji teori dengan menggunakan logika ilmiah (rasionalisasi). Metode yang lain yang juga perlu mendapat tempat adalah intuisi untuk memahami realitas empirik dan non-empirik yang tidak dapat dijangkau oleh indra dan akal pikiran. Metode intuisi mempergunakan potensi hati (qalbu) sebagai alat menjawab permasalahan yang terjadi dan merupakan metode penyempurna dari keterbatasan rasio. Fritjof Schuon mengatakan bahwa rasionalisme itu keliru bukan karena ia berupaya untuk mengekspresikan realitas secara rasional sejauh itu memungkinkan, tetapi karena ia berupaya merangkul seluruh realitas ke dalam alam rasio.

Disamping itu metode keyakinan dan otoritas juga bisa digunakan untuk membangun sebuah teori dalam ilmu psikologi. Hal ini merupakan salah satu aspek pemahaman dan ketundukan terhadap kebenaran kitab suci sebagai wahyu dari pencipta manusia serta pengakuan kita terhadap orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menafsirkan ilmu psikologi melalui ilmu agama. Kedua metode ini perlu mendapat pengakuan untuk mengembangkan teori psikologi yang mencoba memahami manusia secara lebih komprehensif baik dari aspek materi maupun non materi.

Dalam perjalanannya psikologi islam cukup berkembang. Di Indonesia sendiri sudah diresmikan pada tahun 1994 dalam Simposium Nasional Psikologi Islami I ditandai pula dengan terbitnya buku-buku psikologi islami yang dinilai menandai perkembangan psikologi islami di Indonesia. Namun hingga saat ini telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Untuk itu, prospek Psikologi Islam ke depan menjadi tanggung jawab kita bersama seperti ilmuan psikologi, praktisi, peneliti, institusi dan peminat psikologi Islam untuk menciptakan gerakan yang memperjuangkan tegaknya Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang kokoh, baik di Indonesia maupun dunia internasional.

4.Perbedaan Psikologi Barat dengan Psikologi Islam


1. Jika Psikologi Barat merupakan produk pemikiran dan penelitian empiric, Psikologi Islam , sumber utamanya adalah wahyu Kitab Suci Al Qur’an, yakni apa kata kitab suci tentang jiwa, dengan asumsi bahwa Allah SWT sebagai pencipta manusia yang paling mengetahui anatomi kejiwaan manusia. Selanjutnya penelitian empiric membantu menafsirkan kitab suci.

2. Jika tujuan Psikologi Barat hanya tiga; menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku, maka Psikologi Islam menambah dua poin; yaitu membangun perilaku yang baik dan mendorong orang hingga merasa dekat dengan Allah SWT.

3. Jika konseling dalam Psikologi Barat hanya di sekitar masalah sehat dan tidak sehat secara psikologis, konseling Psikologi Islam menembus hingga bagaimana orang merasa hidupnya bermakna, benar dan merasa dekat dengan Allah SWT

4. Pendekatan Psikologi Islami dalam Intervensi
Sampai saat ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Atkinson, terdapat enam teknik psikoterapi/Intervensi/penanganan psikologis yang digunakan oleh para psikiater atau psikolog.

a. Teknik terapi psikoanalisis, yaitu bahwa di dalam tiap-tiap individu terdapat kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan yang menyebabkan konflik internal tidak terhindarkan. Konflik yang tidak disadari itu memiliki pengaruh yang kuat pada perkembangan kepribadian individu, sehingga menimbulkan stres dalam kehidupan. Teknik ini menekankan fungsi pemecahan masalah dari ego yang berlawanan dengan impuls seksual dan agresif dari id. Model ini banyak dikembangkan dalam Psikoanalisis yang dipelopori oleh Sigmund Freud. Menurut Freud, paling tidak terdapat lima macam teknik penyembuhan penyakit mental, yaitu dengan mempelajari otobiografi, hipnotis, catharsis, asosiasi bebas, dan analisis mimpi. Teknik terapi Psikoanalisis Freud pada perkembangan selanjutnya disempurnakan oleh Jung dengan teknik terapi Psikodinamik.

b. Teknik terapi perilaku, yang menggunakan prinsip belajar untuk memodifikasi perilaku individu. Teknik ini antara lain desensitisasi sistematik, flooding, penguatan sistematis, pemodelan dan pengulangan perilaku yang pantas, dan teknik regulasi diri perilaku.

c. Teknik terapi kognitif perilaku, yaitu teknik memodifikasi perilaku dan mengubah keyakinan maladaptif. Ahli terapi membantu individu mengganti interpretasi yang irasional terhadap terhadap suatu peristiwa dengan interpretasi yang lebih realistik. Atau, membantu pengendalian reaksi emosional yang terganggu, seperti kecemasan dan depresi dengan mengajarkan mereka cara yang lebih efektif untuk menginterpretasikan pengalaman mereka.

d. Teknik terapi humanistik, yaitu teknik dengan pendekatan fenomenologi kepribadian yang membantu individu menyadari diri sesungguhnya dan memecahkan masalah mereka dengan intervensi ahli terapi yang minimal. Gangguan psikologis yang diduga timbul jika proses pertumbuhan potensi dan aktualisasi diri terhalang oleh situasi atau oleh orang lain. Carl Rogers, yang mengembangkan psikoterapi yang berpusat pada klien (client-centered-therapy), percaya bahwa karakteristik ahli terapi yang penting untuk kemajuan dan eksplorasi-diri klien adalah empati, kehangatan, dan ketulusan.

e. Teknik terapi eklektik atau integrative, yaitu memilih dari berbagai teknik terapi yang paling tepat untuk klien tertentu, ketimbang mengikuti dengan kaku satu teknik tunggal. Ahli terapi mengkhususkan diri dalam masalah spesifik, seperti alkoholisme, disfungsi seksual, dan depresi. Keenam, teknik terapi kelompok dan keluarga. Terapi kelompok adalah teknik yang memberikan kesempatan bagi individu untuk menggali sikap dan perilakunya dalam interaksi dengan orang lain yang memiliki masalah serupa. Sedang terapi marital dan terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok khusus yang membantu pasangan suami-istri, atau hubungan orang tua dan anak, untuk mempelajari cara yang lebih efektif, untuk berhubungan satu sama lain dan untuk menangani berbagai masalahnya.

Berbagai teknik terapi di atas, tak satupun menyebutkan teknik terapi ukhrawi (psikoterapi yang berpijak pada ajaran agama). Freud bahkan dalam The Future of an Illusions menganggap bahwa orang yang memeluk suatu agama berarti ia telah menderita delusi, ilusi, dan perasaan menggoda pikiran (obsessional neurosis) yang berasal dari ketidakmampuan manusia (helplesness) dalam menghadapi kekuatan alam di luar dirinya dan juga kekuatan insting dari dalam dirinya sendiri. Agama merupakan kumpulan neurosis atau kekacauan mental yang disebabkan oleh kondisi serupa dengan kondisi yang menimbulkan neurosis pada anak-anak. Hal itu menunjukkan bahwa satu-satunya psikoterapi yang dikembangkan dalam psikoterapi psikoanalisis adalah psikoterapi duniawi, sebab teori-teorinya didasarkan atas paradigma antroposentris, yang tidak mengenal dunia spiritual atau agama.

Carl Gustav Jung, seorang putra mahkotanya sendiri tetapi kemudian membangkangnya – terpaksa mengadakan penelitian pada mitologi, agama, alkemi dan astrologi. Penelitiannya ini dapat membantu kejelasan archetipe-archetipe yang sulit diperoleh dari sumber-sumber kontemporer. Selanjutnya, Allport juga membantah teori Freud. Para psikolog kontemporer tidak berhasil menemukan patologi-patologi yang terjadi pada pemeluk agama yang salih. Pemeluk agama yang shaleh justru mampu mengintegrasikan jiwanya dan mereka tidak pernah mengalami hambatan-hambatan hidup secara serius. Dengan uraian di atas, teori Freud yang hanya mengutamakan psikoterapi duniawi tidak dapat dipertahankan lagi dan dipandang perlu untuk penambahan psikoterapi lain yang dikaitkan dengan kehidupan agama (religius), yakni psikoterapi ukhrawi yang berasaskan agama.

Al-Ghazali lebih menyoal penyakit jiwa dari sudut perilaku (al-akhlak) positif dan negatif, sehingga bentukbentuk terapinya juga menggunakan terapi perilaku. Dalam hal ini ia menyatakan : Menegakkan (melakukan) akhlak (yang baik) merupakan kesehatan mental, sedang berpaling dari penegakan itu berarti suatu neurosis dan psikosis.

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa bentuk-bentuk psikoterapi menurut Al-Ghazali adalah meninggalkan semua perilaku yang buruk dan rendah, yang mengotori jiwa manusia, serta melaksanakan perilaku yang baik untuk membersihkannya. Perilaku yang baik dapat menghapus, menghilangkan dan mengobati perilaku yang buruk. Upaya seperti itu dapat menjadikan jiwa manusia suci, bersih, dan fitri sebagaimana ia baru dilahirkan dari rahim ibunya. Pendekatan agama dapat dilakukan dan memberikan rasa nyaman terhadap pikiran, kedekatan terhadap Tuhan dan doa-doa yang disampaikan akan memberikan harapan-harapan positif.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Ighatsah al-Lahfan lebih spesifik membagi psikoterapi dalam dua kategori,yaitu tabi iyyah dan syar iyyah. Psikoterapi tabi iyyah adalah pengobatan secara psikologis terhadap penyakityang gejalanya dapat diamati dan dirasakan oleh penderitanya dalam kondisi tertentu, seperti perasaan kecemasan, kegelisahan, kesedihan, dan amarah. Penyembuhannya dengan cara menghilangkan sebab-sebabnya. Psikoterapi syar iyyah adalah pengobatan secara psikologis terhadap penyakit yang gejalanya tidak dapat diamati dan tidak dapat dirasakan oleh penderitanya dalam kondisi tertentu, tetapi ia benar-benar penyakit yang berbahaya, sebab dapat merusak kalbu seseorang, seperti penyakit yang ditimbulkan dari kebodohan, syubhat, keragu-raguan, dan syahwat. Pengobatannya adalah dengan penanaman syariah yang datangnya dari Tuhan. Hal itu dipahami dari QS. Al-Anam : 125 : Barangsipa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.

Dewasa ini berkembang perhatian terhadap hubungan antara agama dengan kesehatan mental atau gangguan mental, khususnya yang terkait dengan proses penyembuhan.

Setelah mempelajari teks-teks Al-Quran, Muhammad Abd Al-Aziz Al-Khalidi membagi obat (syifa) dengan dua bagian : Pertama, obat hissi, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit fisik, seperti berobat dengan air, madu, buah-buahan yang disebutkan dalam Al-Quran; kedua, obat manawi, yaitu obat yang dapat menyembuhkan penyakit ruh dan kalbu manusia, seperti doa-doa dan isi kandungan dalam Al-Quran.

Pembagian dua kategori obat tersebut didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dua substansi yang bergabung menjadi satu, yaitu jasmani dan ruhani. Masing-masing substansi ini memiliki sunnah (hukum) tersendiri yang berbeda satu dengan yang lain. Kelainan (penyakit) yang terjadi pada aspek jasmani harus ditempuh melalui sunnah pengobatan hissin, bukan dengan sunnah pengobatan manawi seperti berdoa. Tanpa menempuh sunnahnya maka kelainan itu tidak akan sembuh. Permasalahan tersebut menjadi lain apabila yang mendapat kelainan itu kepribadian (tingkah laku) manusia91. Kepribadian merupakan produk fitrah nafsani (jasmani-ruhani). Aspek ruhani menjadi esensi kepribadian manusia, sedang aspek jasmani menjadi alat aktualisasi. Oleh karena kedudukan seperti ini maka kelainan kepribadian manusia tidak akan dapat disembuhkan dengan sunnah pengobatan hissi, melainkan dengan sunnah pengobatan manawi. Demikian juga, kelainan jasmani seringkali disebabkan oleh kelainan ruhani dan cara pengobatannya pun harus dengan sunnah pengobatan manawi pula.

Sebenarnya pendekatan agama dalam penyembuhan gangguan psikologis, merupakan bentuk yang paling tua. Telah beberapa abad lamanya, para Nabi atau para penyebar agama melakukan peranan-peranan therapeutic, terutama dalam menyembuhkan penyakit-penyakit rohaniah umatnya.

Seperti Nabi Muhammad SAW telah menyembuhkan penyakit mental atau gangguan psikologis orang-orang jahiliyah Quraisy dengan melalui agama islam, sehingga mereka menjadi manusia yang berakhlak mulia (bermental sehat). Indikator dari gangguan psikologis mereka itu nampak dalam penyimpangan perilaku seperti: (a) mengubur hidup-hidup (ngaruang kerepes) anak wanita, karena mereka inferior, rendah diri, merasa terhina, apabila memiliki anak wanita, (b) prostitusi atau perzinahan, (c) meminum minuman keras, (d) musyrik, menyembah kepada berhala bukan kepada Allah, (e) saling memusuhi, peperangan, atau tawuran antar suku, dan (f) melakukan perbudakan (pelecehan terhadap nilai-nilai atau harkat dan martabat manusia).

Semakin kompleks kehidupan, semakin dirasakan pentingnya penerapan mental hygiene yang bersumber dari agama dalam rangka megembangkan atau mengatasi kesehatan mental manusia (masyarakat).

Ada kecenderungan bahwa orang-orang di zaman modern ini semakin rindu atau haus akan nilai-nilai agama, sehingga tausiah, nasihat, atau kesempatan dialog dengan para kyai, ustadz, atau ajengan sangat diharapkanya. Mereka merindukan hal itu dalam upaya mengembangkan wawasan keagamaan, atau mengatasi masalah-masalah kehidupan yang sulit diatasinya tanpa nasihat keagamaan tersebut.

Muhammad Mahmud Mahmud, seorang psikolog muslim ternama, membagi psikoterapi Islam dalam dua kategori; Pertama, bersifat duniawi, berupa pendekatan dan teknik-teknik pengobatan setelah memahami psikopatologi dalam kehidupan nyata; Kedua, bersifat ukhrawi, berupa bimbingan mengenai nilai-nilai moral, spiritual, dan agama.
Model psikoterapi yang pertama lebih banyak digunakan untuk penyembuhan dan pengobatan psikopatologi yang biasa menimpa pada sistem kehidupan duniawi manusia, seperti neurasthenia, hysteria, psychasthenia, schizophrenia, Manic depressive psychosis, kelainan seks, paranoia, psychosomatik, dan sebagainya.

Dalam Islam, sholat dan metode zikir ditengah malam akan memberikan rasa nyaman dan rasa percaya diri lebih dalam menghadapi masalah. Rasa cemas akan turun. Tindakan bunuh diri dilarang dalam Islam, bila iman semakin kuat maka dorongan bunuh diri (tentamina Suicidum) pada simtom depresi akan hilang. Metode zikir (berupa Asmaul Husna) juga efektif menyembuhkan insomnia.

Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001) psikoterapi dalam Islam yang dapat menyembuhkan semua aspek psikopatologi, baik yang bersifat duniawi, ukhrawi maupun penyakit manusia modern adalah sebagaimana ungkapan dari Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
Obat hati itu ada lima macam:
1. membaca Al-Quran sambil mencoba memahami artinya,
2. melakukan shalat malam,
3. bergaul dengan orang yang baik atau shalih,
4. memperbanyak shaum atau puasa,
5. dzikir malam hari yang lama.

Barang siapa yang mampu melakukan salah salah satu dari kelima macam obat hati tersebut maka Allah akan mengabulkannya (permintaannya dengan menyembuhkan penyakit yang diderita).


DAFTAR PUSTAKA
Azizy. Manusia Dalam Pandangan Psikologi Islam dan Psikologi Barat From: http://greenzonekampus.blogspot.com/2010/08/manusia-dalam-pandangan-psikologi-islam.html, 25/12/2010

Hasan Mawardi. 2006. Arah dan Tantangan Psikologi Islam. From:
http://psi-islami.blogspot.com/2006/06/arah-dan-tantangan-psikologi-islam.html, 25/12/2010

Nashori, Fuad. 2002. Agenda Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nashori, Fuad. 2005. Potensi-Potensi Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Psychorider research team. 2008. Psikologi Islami dan Psikoterapi Islam. From: http://psychologyupdate.blogspot.com/2008/04/psikologi-islami-dan-psikoterapi-islam.html, 25/12/2010

Ridwan Hardiawan. Psikologi Barat Vs Psikologi Islam. From: http://www.artikelpsikologi.ssantsons.com/psikologi%20barat%20vs%20psikologi%20Islam.html, 25/12/2010

Suprayetno. Pemikiran psikologi Islam. From: http://www.scribd.com/doc/16768813/Pemikiran-Psikologi-Islam, 25/12/2010

Zainul Anwar. 2010. Terapi psikologi. From: http://zainulanwar.staff.umm.ac.id/tag/psikologi-islam/, 25/12/2010

2 komentar:

  1. perbandingan yang menarik, semoga psikologi islam kedepan menjadi lebih baik lagi

    BalasHapus
  2. islamisasi psikologi
    tulisannya luar biasa...
    best of paper

    BalasHapus