Jumat, 12 Juni 2009

Bagaimana Jika

Pagi ini,
aku mencium bau rerumputan basah bekas hujan semalam
Pagi ini berselimut kabut,
sama seperti ketika itu
hanya saja bukan disini
Masih jelas dalam benakku
Dingin menerpa lembut wajah dan menerbangkan jiwa
Ketika itu kau menawarkan jaket
Tahukah
Lantas semua menjadi begitu hangat
Mungkin karena bonus senyummu

Pagi ini
Semua kembali berkelebat
Tak kupakai jaketmu
Sudah kau renggut paksa
Aku begitu dingin..
Bau rumput ini,
Kabut ini...



Pagi ini,
aku mencium bau rerumputan basah bekas hujan semalam
Pagi ini berselimut kabut,
sama seperti ketika itu
Aku masih selalu mendengarmu mengatakan
Tidak bukan kau yang merenggut jaketku
Tapi aku yang perlahan melepasnya
Ah aku tertawa
begitu bodohnya aku
atau aku memang bodoh
Saat ini begitu dingin
Aku mulai terbiasa

Pagi ini,
aku mencium bau rerumputan basah bekas hujan semalam
Pagi ini berselimut kabut,
sama seperti ketika itu
Kamu di sana hanya tersenyum
Dan mengatakan
Jaket ini masih milikmu
Ambillah kapanpun kau mau

Pagi ini,
aku mencium bau rerumputan basah bekas hujan semalam
Pagi ini berselimut kabut,
sama seperti ketika itu
Dan aku tetap tertawa
Aku sudah terbiasa
Bau rumput ini
Kabut ini..

Pagi ini,
Kau masih saja tersenyum

BERILMU dan KEBAIKAN HATI

Pada suatu hari Berilmu diundang kampung Ratu Adil untuk menghadiri perjamuan makan malam, karena jarak yang cukup jauh maka Berilmu memutuskan untuk menginap di rumah kepala Kampung Ratu Adil barang semalam. Ketua kampung Tuan Mahligai yang beristri tiga dan beranak gadis dua dengan senang hati menampung Kepala kampung Awet Muda itu. Bahkan menyuruh Berilmu menginap 3 hari sebagai tamu istimewa. Karena belum ijin kepada warganya dan atas pertimbangan menghargai Tuan Mahligai maka diputuskan oleh Berilmu untuk menginap barang satu hari lagi. Segera dia memanggil utusannya untuk menyampaikan perihal ini kepada warga kampung Awet Muda dan memberikan beberapa titah lainnya kepada utusan itu.

Malam dengan pembicaraan diplomasi ngalor ngidul membuat Berilmu bangun lebih cepat dari suara ayam. Sulit ternyata memejamkan mata di kampung orang, pikirnya. Maka diputuskannya untuk sejenak merehat pikiran dengan menghirup udara pagi di luar sana. Didapatinya Tuan Mahligaipun telah berada di luar rumah. Dan tidak.. pikir Berilmu, pembicaraan diplomasipun berlanjut.

Sore hari sebelum kembali ke Kampung Awet Muda, Berilmu berjalan-jalan di kebun bambu milik Tuan Mahligai, Hmm indah benar, tidak jauh berbeda dengan kampungku, pikirnya, Berilmu berjalan mengikuti jalan setapak di kebun bambu itu, didengarnya suara gemericik air dan berjalanlah ia mengikuti sumber suara berasal. Beberapa meter di depan, dilihatnya seorang gadis tengah duduk sendirian di pinggir sungai dimana sumber suara genericik itu berasal. Didengarnya senandung lagu yang tak dimengeti bahasanya oleh Berilmu. Berilmu mendekati gadis berambut panjang itu dan berdeham, sontak gadis itu menoleh ke belakang melihat Berilmu. Beberapa detik mata mereka bertemu, dan Berilmu merasakan getaran lain yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Sang Gadis mengalihkan pandangan karena malu. Dan Berilmu segera meminta maaf andai telah mengagetkan gadis itu atas kedatangannya yang tiba-tiba.

” Maaf apabila saya mengagetkanmu wahai Nona, saya sedang berjalan-jalan di kebun ini dan mendengar senandung lirih Anda, kalau boleh tau apa yang sedang Anda senandungkan? Sepertinya sesuatu yang membuat Anda risau? ”
”Tidak apa-apa Tuan, maaf apabila saya berlaku tidak sopan”,
”Owh tidak-tidak justru sayalah yang tidak sopan” mm bolehkah saya bergabung duduk disini?”.
”Tentu mari silahkan duduk”, gadis itu mempersilahkan Berilmu duduk di sampingnya. Berilmu memandang sungai di bawahnya, ”Sungguh jernih sekali air sungai di sini”. Beberapa menit mereka memandang air sungai tanpa bicara satu sama lain.
”Tidakkah anda ingin bersenandung tuan?” tanya gadis itu tiba-tiba,
”owh benar sekali sepertinya saya ingin bergabung dengan angin yang mendera bambu-bambu ini, dan air yang mengalir perlahan di bawah sana, sungguh indah. Ini membuat saya seperti berada di kampung sendiri”.
”Demikianlah yang baru saja saya lakukan tadi. Membuat diri saya hanyut bersama kawan-kawan alam”. Kata gadis itu. Kemudian mereka memandang air sungai di bawah,.kali ini melantunkan nada-nada teratur, sahut menyahut, terasa begitu seimbang dan harmonis. Angin yang menggerakkan daun bambu yang membuatnya mengeluarkan nada tak luput menarikan rambut gadis disamping Berilmu. Berilmu melepas pandanganya yang jauh melebihi fisik dari air itu, tak sengaja memandang tangan gadis di sebelahnya.
”Maaf,.ada nyamuk di tangan Nona”, kata Berilmu tiba-tiba.
”oh biarkan saja,..tidak apa-apa tuan, nyamuk pun memerlukan makan untuk hidup,.Biarkan saya sedikit berbagi dengannya, hal kecil ini mungkin akan berarti besar untuknya.” kata gadis itu sambil tersenyum.
Berilmu tertarik memdengar uraian gadis itu. ”Betapa baiknya engkau wahai nona, bukankah nyamuk sekecil itu akan membuat gatal tangan anda. Dan bukankah itu mengganggu anda?”.
”Saya rasa tidak tuan, toh hanya gatal saja sedetik juga hilang.
”Begitukah? , hmm sudah duduk cukup lama, tapi belum juga saya tahu nama Nona,.”
”nama saya Kebaikan Hati tuan,..”
”hmm Kebaikan Hati, sungguh mencerminkan sikap Anda”.
Diam beberapa saat.
”Tahukah Tuan di kampung ini kita diajarkan untuk tidak membunuh nyamuk. Nyamuk tidak pernah bermaksud untuk mengganggu, dia hanya menuruti instingnya untuk mencari makan, dan kebetulan dengan darah kita yang setitik itu dia dapat bertahan..”
”hm saya baru mendengar hal itu Nona”.
”Memang hal ini jarang dibicarakan di kampung ini Tuan, karena jarang dijumpai nyamuk disini. Semua orang di kampung ini berusaha menjaga kebersihan sehingga komunitas nyamuk tidak akan betah berlama-lama tinggal di kampung ini. Mungkin inilah satu-satunya cara terhalus agar para nyamuk mencari tempat yang lebih sesuai bagi kelestarian mereka. Sejujurnya Saya merasa beruntung karena dapat memberi shodaqoh bagi keberlangsungan hidup nyamuk yang mungkin kesepian ini. Tidakkah tuan melihat, darah saya yang setitik itu dapat menggemukkan perutnya. Barangkali kita akan mendengarnya bersenadung, mungkin itu adalah senandung kesunyian tapi mungkin juga itu adalah senandung syukur”.
Berilmu tersenyum memandang gadis itu, dan melantunkan kembali nada-nada itu, yah ini adalah bahasa alam, pikirnya.
Kelak berilmu akan menyadari bahwa inilah awal pertamanya jatuh cinta dengan gadis yang satu tahun kemudian menjadi istrinya.

Sesisir Ilmu dari kampung Awet Muda

Cerita ini bermula di kampung kecil lagi terpencil di sebuah pulau tak bernama, dimana suara katak menjadi yang paling menonjol. Alunan suara mereka sungguh terorganisir rapi dalam konser musik beraliran naturalis. Kita bisa melihat tuan ALAM yang lincah, bersemangat menjadi pimpinan sekaligus pemandu utama dalam konser yang aduhai memabukkan. Bukan rahasia kalau di kampung itu tuan Alam selalu bertambah muda seiring bertambahnya waktu. Itulah kawan, sebab dikenalnya kampung ini dengan sebutan ”Kampung Awet Muda”, para penghuni kampung berpantang menyingkat nama kampung mereka menjadi 3 huruf, 5 huruf apalagi satu huruf., sebab bagi mereka nama adalah doa.

Sejak awal mula kampung itu berada, para leluhur telah mewariskan ajaran pada anak cucu mereka. Ajaran itu kemudian tersimpan rapi hingga tulang rusuk cicit sampai generasi tak taulah bahwa ”Dosa menyingkat doa”. Nama apa saja tak terkecuali nama penghuni luar kampung. Itulah sebab mengapa nama sebagian penghuni kampung itu tidak lebih dari dua suku kata saja.

Kawan, kampung Awet Muda itu terletak di ketinggian 1000 m di atas permukaan laut dengan 23 kepala keluarga. Jarak paling jauh antara satu rumah dengan rumah yang lain adalah 5 meter, itupun karena jalan setapak selebar 3 meter yang membentang di depan rumah mereka. Itulah sebab jarang ditemui ada rahasia di kampung itu.

Rumah-rumah di sana berukuran hampir sama dan mirip, tersusun kuat dari kayu jati ratusan tahun. Yang membedakan hanyalah ukiran yang menghiasi pintu masing-masing rumah. Sungguh tak ada yang lebih menonjol dari yang lainnya. Kalaupun ada bukan karena ukuran atau kemewahan rumah, tapi karena rumah itulah yang paling ramai dikunjungi orang, tentu saja rumah itu adalah rumah kepala kampung, Tuan Berilmu nama kepala kampung awet muda itu, konon diangkat karena namanya dan ketangkasannya memecahkan persoalan kampung ketika masih muda. Saat itu mantan Kepala kampung Tuan Bersahaja sedang sakit kambuh asmanya, membutuhkan istirahat lama berkisar seminggu. Waktu itu kampung memiliki hajad membangun jembatan sebagai penghubung dengan kampung Ratu Adil, tetangga kampung sebelah barat kampung Awet Muda. Para pekerja yang terdiri dari laki-laki satu perwakilan dari setiap keluarga tak tahu apa yang harus dilakukan dan instruksi siapa yang akan didengar. Permasalahan yang dihadapi waktu cukup pelik dan membuat adu mulut. Mereka bekerja semrawut dan tak terorganisir. Situasi waktu itu cukup memanas karena ketika pemuda 1 menebang pohon sebagai bahan jembatan pemuda 2 memprotes, bukankah tidak seharusnya kita menggunakan pohon jati? Dan begitu seterusnya.

Pada saat situasi telah mencapai tahap genting, Berilmu remaja perwakilan dari keluarga Lincah datang dan membantu penyelesaian masalah dengan logika sederhananya” Sudahlah tunggu kepala kampung sembuh baru bangun kembali jembatan itu”. Tak dinyana semua menyetujui dan berpikiran ”Owh sungguh Berilmu luas wawasannya”.

Dari situlah kemudian Setiap kali penghuni kampung menghadapi persoalan pelik larinya selalu kepada Berilmu yang berumah 3 rumah dari rumah kepala kampung. Rumah Berilmu menjadi rumah kedua paling ramai dikunjungi setelah rumah Tuan Bersahaja kepala kampung waktu itu.

Lima tahun setelah peristiwa jembatan, Berilmu diangkat menjadi kepala Kampung karena Tuan Bersahaja sudah semakin tua payah dan meminta pensiun. Pemberhentian ketua lama dan Pemilihan ketua baru cukup singkat. Waktu itu Tuan Bersahaja mengumpulkan semua warga kampung awet muda, kemudian berpidato yang isinya kurang lebih adalah sebagai berikut ”Wahai para penghuni Kampung Awet Muda, saya mengumpulkan kalian semua di sini untuk mengatakan kepada kalian semua bahwa saya sudah semakin tua, sungguh bertolak belakang memang dengan kampung tercinta kita, namun saya adalah manusia biasa, yang dengan ketetapan Allah Subhanahuwata’ala diberi karunia tua. Oleh karenanya wahai wargaku, saat ini juga aku memutusakan untuk pensiun dari jabatanku. Rambutku sudah semakin putih, nafasku pun hanya tinggal satu dua, Aku malu ketika aku nanti di panggil Oleh Dia yang maha Hidup karena pergi meninggalkan kalian semua dengan urusanku yang belum selesai. Jadi wargaku yang aku cintai, ini adalah saat yang tepat bagiku untuk menyelesaikan urusanku yaitu untuk mendampingi kalian semua memilih pengganti ku sebagai Kepala kampung.” sejenak warga terdiam, bahkan ada satu dua perempuan yang menangis. Beberapa detik kemudian semua warga menyahut BERILMU” dan jadilah Berilmu sebagai ketua kampung Awet Muda itu.

Ketika pengangkatan itu terjadi berilmu baru berumur 25 tahun dan belum menikah. Sebenarnya berilmu sudah sangat ingin melaksanakan tuntunan Rasulullah dalam membagun Rumah tangga, namun urusan kampung mengalihkan perhatiannya waktu itu.


:P

Senin, 01 Juni 2009

Menuju akhir

bintang masih bermuram durja dengan segala keluh kesah. Dimana ceria, dimana bahgia..sepertinya tak tahan menunggu siang tiba. Biarkan mentari menghilangkannya walau sejenak.